JEJAK JUNGHUHN: Hidup dan Karyanya
Duel pistol mengubah jalan hidup Franz Wilhelm Junghuhn. Membangun pondok persemayaman terakhir di kaki Gunung Tangkubanparahu, Lembang.
Malik Ar Rahiem
Geolog, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung
20 Februari 2024
BandungBergerak.id - "Sangat gembira rasanya mengetahui bahwa ilmu pengetahuan berkembang di bawah langit tropis“ -- Dr. Franz Wilhelm Junghuhn, lahir di Halle (Jerman), 26 Oktober 1809, meninggal di Lembang, 24 April 1864.
Tempat peraduan terakhir dari pemikir hebat dan peneliti ilmu alam itu terletak di kaki punggungan Gunung Tangkuban Parahu, di atas Desa Lembang, dengan pemandangan yang menakjubkan bentang alam pegunungan. Berbagai macam jenis pohon kina telah ditanam di sekeliling tugu peringatan dan beberapa kursi telah disediakan untuk pengunjung yang ingin merenung atau mengenang masa-masa penuh pencapaian dari seorang asing yang dimakamkan di sini.
Beberapa saat sebelum ia wafat, ia melakukan kebiasaan yang telah menjadi tabiatnya. Ia meminta istrinya membukakan jendela kamarnya lebar-lebar; ia ingin sekali mengucapkan selamat tinggal pada gunung-gunung yang begitu ia cintai, sebesar keinginannya untuk memandangi hutan rimba yang menakjubkan hatinya – pemandangan indah – yang telah mewarnai hidup dan karya-karyanya.
Junghuhn telah menorehkan jejak luar biasa dalam hidupnya. Telah begitu banyak buku ditulis mengenai ilmuwan ternama ini. Ia mempelajari dan mempraktikkan hampir semua cabang dari ilmu alam. Kini, dunia ilmiah begitu terpana pada capaian-capaian dan pengetahuan yang diguratkan oleh sang perintis ilmu alam di Jawa ini; Dialah si ahli botani handal, si geolog cakap, volkanolog yang terampil, klimatolog yang ternama, etnografer yang masyhur, perintis budidaya kina, penjelajah pertama gunung-gunung di Jawa, orang yang diberkahi energi dan tekad yang kuat untuk menuliskan hasil pengembaraan, penelitian, dan segala temuannya, yang bahkan setelah lebih dari 100 tahun, tulisannya masih dibaca begitu banyak orang.
Seorang geolog ternama pernah menulis tak lama lalu: “Apa pun yang ditulis Junghuhn mengenai morfologi dan geologi dari suatu gunungapi – penyebab dan dampak dari erupsi--, semuanya ia pikirkan begitu mendalam, kita mungkin bisa meyakini bahwa jika kita meneliti tempat yang sama dengan investigasi yang baru, maka para peneliti mungkin akan mendapatkan hasil yang serupa dengan kesimpulan yang ditarik oleh Junghuhn“.
Selain dari semua cabang ilmu alam, Junghuhn juga mempelajari arkeologi, juga kisah-kisah candi-candi Hindu, dan juga paleontologi. Penelitian-penelitian ini menghasilkan berbagai macam publikasi mengenai fosil-fosil yang tak diketahui sebelumnya, selain juga penguraian dari tulisan-tulisan kuno pada batuan.
Junghuhn adalah salah satu orang pertama di Hindia yang menggunakan fotografi untuk mendeskripsikan bentangalam, yaitu pada sekitar 1860an. Ia memadukan fotografi dan sketsa yang dibuat menggunakan pensil dan cat air. Ada begitu banyak lukisan dan sketsa yang ia tinggalkan.
Peralatan-peralatan fotografi yang dimilikinya antara lain kamera obscura, dan kamera tipe daguerro, dengan piringan basah. Hasil fotonya banyak tersisa dan menunjukkan selera yang tinggi.
Sangat penting bagi kita untuk mengapresiasi hal ini. Perlu diingat bahwa pada 100 tahun yang silam sangatlah sulit untuk membuat gambar di wilayah tropis. Juga perlu diingat betapa sulit dan beratnya untuk mendaki puncak-puncak gunung di Jawa. Tak ada satu pun gunung, dan puncak gunung, yang belum pernah didaki Junghuhn.
Kini di zaman modern, sangatlah mudah untuk mencapai puncak gunung dan kawah. Tapi di masa lampau, puncak-puncak hanya bisa ditempuh dengan kuda, atau dengan berjalan kaki.
Tapi Junghuhn melakukan ini semua. Semua dilakukan atas kecintaannya pada sains, atas kecintaannya pada alam.
Izinkanlah saya untuk menyajikan sejarah singkat dari perjalanan hidup ilmuwan hebat ini.
Duel Maut
Ayah Junghuhn adalah seorang dokter bedah, yang bekerja pada tambang di Mansfeld, Jerman. Karena pekerjaannya, tak heran ia berharap bahwa putranya akan melanjutkan karier yang sama dan mengambil studi kedokteran juga.
Franz muda tidak memiliki keinginan sama sekali untuk menjadi dokter, yang pada masa itu biasanya dokter juga merangkap bekerja sebagai tukang cukur di desa. Franz punya keinginan dan aspirasi lain yang menurutnya lebih tinggi. Tapi, ayahnya bersikeras agar Franz mengambil studi kedokteran. Akibatnya tak jarang keduanya berseteru dan terlibat percekcokan. Franz begitu ingin untuk belajar botani dan geologi. Maka ia mengambil kedua bidang ini selain dari studi kedokteran sebagai studi utamanya. Franz mencurahkan perhatian yang mendalam pada kedua bidang yang disukainya ini.
Kecintaannya inilah yang menjadi alasan mengapa pada umurnya yang ke-21, publikasi pertamanya terbit di “Journal fur die Botanik”, yaitu mengenai penelitiannya tentang jamur. Ketika itu tak ada seorang pun yang mengira bahwa karya penanya ini akan berlanjut pada karya-karya hebat lainnya.
Junghuhn menamatkan studi kedokterannya di Berlin dan mendaftar sebagai dokter bedah bagi Militer Prussia pada April 1831.
Pada masa-masa ini, sebuah insiden serius terjadi, yang mengakibatkan arah hidup Franz muda berubah sangat drastis.
Dalam satu pesta, dua orang pelajar bertengkar karena perempuan. Gara-gara ini salah satu pemuda merasa terhina. Junghuhn muda yang berdarah panas menyiramkan segelas bir ke muka si penghina, yang berujung pada duel pistol. Tragisnya Junghuhn membunuh lawan duelnya, sehingga ia dihukum 10 tahun penjara di Ehrenbreitstein, di sekitar Koblenz. Pada tahun baru 1832, Junghuhn resmi harus duduk di balik jeruji.
Begitulah, seorang pemuda yang hidup dengan idealisme tinggi, yang penah berkata: “Aku benci semua yang buruk – Aku memuja dan melaksanakan kebajikan; Aku mencintai sesamaku serta memperlakukan orang-orang susah dan menderita sebaik yang aku mampu, dan itulah keyakinanku yang sejati“.
Dalam penjara, Junghuhn berpura-pura gila hingga kemudian ia dipindahkan ke rumah sakit di Koblenz. Di sini ia mengajarkan anatomi pada mahasiswa, sehingga ia punya sedikit kebebasan bergerak. Seorang kawan membantunya untuk kabur dan Junghuhn melarikan diri ke Prancis. Di sana ia bergabung dengan Tentara Luar Negeri. Junghuhn menjadi dokter garnisun di Afrika Utara dan menulis publikasi mengenai: penyakit yang lazim mengenai orang Eropa yang tinggal di pesisir Afrika Utara.
Tentu ia juga masih mencurahkan waktunya pada studi botani. Tidaklah mengejutkan bahwa terdapat dua publikasi yang terbit: “Pflanzenphysionomie“ dan “Uber das Klima in Bone“. Tak lama kemudian ia terserang demam typhoid, sehingga ia kembali ke Eropa, dan ia mendapat kabar mengenai pengampunan dari hukuman yang menjeratnya.
Junghuhn kembali ke Koblenz untuk mengganti kunci rumah sakit yang ia bawa ketika ia kabur. Kemudian ia kembali ke Mansfeld untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. Ibu Junghuhn begitu bangga pada putranya yang telah menjadi seorang ilmuwan yang sedang menorehkan namanya dalam dunia ilmu pengetahuan melalui beberapa publikasi.
Baca Juga: Situ Patengan Favorit Junghuhn
Petualangan Franz Wilhelm Junghuhn, dari Eropa Berakhir di Lembang
Beragam Kisah di Puncak Jayagiri Lembang, dari Makam Junghuhn hingga Kampung Cilameta yang Hilang
Hindia Memanggil
Junghuhn mendengar kabar bahwa di Belanda, pemerintah sedang merekrut dokter dari luar negeri untuk bekerja pada pemerintah di Hindia, karena Belanda tak mampu memenuhi kebutuhan pekerja akibat luasnya wilayah yang dimiliki. Atas alasan ini, ia harus mengikuti ujian di Utrecht untuk mendapatkan kualifikasi dokter wilayah tropis. Sangatlah menakjubkan ketika membaca cerita bahwa jajaran penguji yang duduk di balik meja hijau secara tak sengaja bertanya mengenai ilmu botani pada Junghuhn dan ia mampu memukau para penguji dengan pengetahuannya yang begitu mendalam.
Junghuhn mendapatkan penugasan sebagai petugas medis dengan tujuan Hindia. Ia masih harus menunggu keberangkatannya dari Hardewijk (Belanda) mulai 2 Januari 1835, bersama 130 orang petugas kelas rendah lainnya.
Sudah menjadi tabiat Junghuhn untuk menghabiskan waktu di Hardewijk untuk menulis. Di sana ia menulis mengenai alam di sekitar Veluwe. Pekerjaan ini menjadi deskripsi rinci, yang hingga kini hanya pernah diteliti lagi oleh sangat sedikit orang.
Pada tanggal 13 Oktober 1835, kapal layar Junghuhn tiba di Jawa. Selama waktu pelayaran ini, Junghuhn menggunakan waktu-waktu bebas untuk melakukan beberapa pengamatan dan penelitian.
Duel yang terjadi beberapa tahun silam telah mengubah Junghuhn menjadi seorang penyendiri. Ia mengubah keyakinan hidupnya, “Urus urusanmu sendiri. Jangan bergaul dengan orang lain. Jangan mencari keributan. Kebahagiaanmu, hiburanmu, harapanmu, keyakinanmu, biarkanlah hanya alam dan semua ekspresinya“.
Bagi sesiapa yang ingin mengikuti jalan hidup Junghuhn dalam hidupnya, tentulah akan menghadapi begitu banyak kesulitan.
Setibanya di Batavia dengan filosofi hidup barunya, Junghuhn menghabiskan waktu-waktu kosongnya masuk ke pedalaman negeri. Ia mempelajari kondisi fisik negeri tempatnya tinggal, physiognomi alamnya, pertumbuhan tanaman dan kondisi tanah. Dia memberi saran dan petunjuk untuk membangun rumah dan pemukiman, dan kelak melakukan studi mengenai klimatologi yang bahkan hingga kini masih digunakan.
“Kalian terlalu banyak berdiam di dalam rumah-rumah kalian yang sumpek, jangan terlalu memanjakan diri dengan makanan berat dan minuman beralkohol. Pergi berjemur, berolahraga!“ Itulah saran-sarannya. Ia kemudian menyatakan: “Untuk setiap sekolah, tanpa terkecuali harus memiliki pelajaran olahraga, di mana setiap jenis olahraga, terutama olahraga fisik bisa dilakukan di udara terbuka.“
Ia kemudian berkomentar mengenai gaya hidup orang Belanda: „Lebih sedikit Gin Belanda, dan bangun lebih banyak pemandian“.
Ia kemudian dipindahkan ke Jogja dan melakukan beberapa ekskursi mandiri, antara lain ke reruntuhan Prambanan dan Candi Kalasan. Ia kemudian mendaki Gunung Merapi. Orang ini tak pernah punya cukup waktu untuk pekerjaannya. Ia terus bekerja dan bekerja, meneliti serangga, tanaman, dan ia tuliskan semua yang menarik perhatiannya. Itulah sebabnya hingga sekarang kita berhutang pada Junghuhn atas deskripsi rincinya tentang Jawa. Para pembantunya diajari Junghuhn cara mengawetkan burung, serangga, dan mengeringkan tanaman. Meski demikian, masa tugas Junghuhn di Jogja tak bertahan lama.
Ia dipanggil kembali ke Batavia dan bergabung dengan Dr. Fritze sebagai ajudan untuk menemaninya berangkat dalam perjalanan-perjalanan.
Kedua dokter dan peneliti ini berplesir bersama pada Juni 1837. Mereka mengunjungi Kebun Raya di Bogor dan pergi lewat Puncak menuju Priangan. Tak pernah cukup waktu dan tangan untuk mengerjakan yang mereka kerjakan. Namun tak peduli seberapa pun lelahnya perjalanan, Junghuhn secara telaten terus menulis dalam buku hariannya, serta mengumpulkan spesies-spesies dari segala jenis serangga dan tanaman. Dr. Fritze kemudian memerintahkan pendirian pondok kecil di Tangkuban Perahu, dan keduanya tinggal di sana beberapa waktu.
Beberapa tahun kemudian Junghuhn dipindahkan ke Sumatera Utara dan menulis buku yang berjudul: „ Die Battalander auf Sumatra“ (Berlin, 1847). Karya ini terdiri atas dua bagian: bagian pertama mendeskripsikan mengenai kawasan ini, sementara bagian kedua mengenai orang-orang yang tinggal di sana. Sekembalinya Junghuhn ke Jawa pada 1845, ia diberhentikan sebagai petugas kesehatan dan diangkat sebagai anggota dari Komisi Ilmu Alam. Pengangkatan ini menunjukan rekognisi dari karya-karyanya selama beberapa tahun terahir. Junghuhn akhirnya mendapatkan harapannya untuk mendedikasikan waktunya bagi pengembangan sains, terwujud.
Salah satu penugasan pertama yang didapatkannya adalah untuk menginvestigasi kemungkinan keberadaan batubara di pulau Jawa. Meskipun cukup sibuk dengan pekerjaannya, namun pada tahun pertama Junghuhn bertugas, ia mampu menyelesaikan salah satu bukunya yang paling penting, „Topographische und Naturwissenschaftliche Reise durch Java“, yang dilengkapi dengan atlas. Karya ini terdiri atas lebih dari 500 halaman. Pada buku ini ia mendeskripsikan beberapa perjalanan yang dilakukannya dengan Dr. Fritze di Jawa antara tahun 1838-1839.
Setelah 13 tahun menjalani pekerjaan yang sangat melelahkan, Junghuhn mengambil cuti sakit dan kembali ke Eropa. Dalam bukunya yang berjudul: „Terugreise von Java nach Europe in October 1848” (printed at Leiden – Belanda, pada 1851), Junghuhn menulis: “Kesehatanku memburuk; kekuatan tubuhku melemah setelah 13 tahun menetap di Jawa“.
Puncak gunung terakhir yang didakinya adalah Tangkuban Perahu pada 17 Juni 1848.
Tulisannya yang puitis dan bersemangat membuat membaca bukunya menjadi begitu menyenangkan. Pada bukunya ia menulis: “Pondok saya berdiri pada ketinggian 6030 kaki, pada titik tertinggi di atas Kawah Baru. Aku menikmati suhu rata-rata 56oF”. Kemudian ia melanjutkan: ”Tapi mustahil bagiku untuk mengucap selamat tinggal pada gunung ini (gunung terakhir yang kudaki sebelum kembali ke Eropa), dan mengucapkan: “Wahai gunung-gunung – Selamat tinggal”, melainkan aku berkata dengan syahdu: “Sampai kita berjumpa lagi”.
Ia memerintahkan agar bawaannya dibawa turun duluan. Kemudian ia duduk di bawah pohon beri, duduk cukup lama, merenung, seolah-olah ia terikat pada titik ini. Kejadian ini membuat perpisahannya terasa semakin melankolis, karena kawah gunung ini merupakan kawah terindah di Jawa.
Di Eropa, si pekerja keras ini tak juga beristirahat. Mulanya ia mempublikasikan empat lembar Peta Jawa dan kemudian ia mempublikasikan karya magnum opusnya yang terdiri atas empat bagian, yang berjudul: “Jawa, bentuknya, vegetasinya, dan struktur pembentuknya“. Sebuah sketsa menjadi dekorasi halaman mukanya, menunjukkan kepala makara yang ia lihat pada Candi Hindu di Dieng, dengan inskripsi dalam bahasa Kawi kuno yang bertuliskan:
“Semoga doa terucap dari hati
menghancurkan perasaan-perasaan brutal
bahwa gerbang seharusnya tak dibuka,
melainkan untuk kabur dari kepuasan“
Tahun 1029 setelah Saliwana (1107 Masehi)
Malaria dan Lembang
Kunjungannya ke Eropa berlangsung lebih lama dari yang ia perkirakan, terutama karena persiapan publikasi bukunya. Setelah 7 tahun di Eropa, Junghuhn kembali ke Jawa. Selagi di Eropa, Junghuhn menikahi J.L.F Koch pada tahun 1850, seorang perempuan yang jauh lebih muda, namun juga sangat rajin membantu Junghuhn dalam pekerjaannya. Junghuhn kemudian berpindah kewarganegaraan sebagai warga negara Belanda.
Pada masa itu adalah masa penemuan kulit kina sebagai obat dari penyakit malaria. Permintaan akan kulit kina sangatlah besar, sementara cara pemanenan sangatlah kasar, yang bisa mengancam tanaman tersebut menuju kepunahan. Untuk mencegah bencana ini, maka orang-orang mencoba membudidayakan tanaman ini. Pulau Jawa dinilai sebagai lokasi yang ideal, mengingat kondisi soil dan iklimnya yang dianggap sesuai dengan habitat tanaman ini. Sebelum ditemukannya metode sintetis untuk melawan malaria, Indonesia merupakan produsen utama kina yang memasok kebutuhan dunia.
Tuan Hasskarl yang direkomendasikan Junghuhn kemudian ditugaskan untuk membawa ke Jawa 21 peti tanaman kina dengan sejumlah besar bibit dan benih. Kapalnya tiba di Jawa pada tanggal 21 Desember 1854. Ketika Hasskarl kemudian meninggalkan Jawa, Junghuhn pada tahun 1856 diberikan tugas untuk merawat dan mengembangkan tanaman ini. Ia kemudian melakukan berbagai macam eksperimen untuk menyukseskan budidaya tanaman kina di Jawa.
Tak bisa dijelaskan mengapa Junghuhn melepaskan berbagai macam pekerjaan ilmiah yang telah menjadi projeknya selama bertahun-tahun. Tapi sudah pasti itu bukanlah karena alasan penghasilan. Itu pastilah karena jiwa kemanusiaannya untuk menolong upaya melawan penyakit malaria yang merajalela. Pastilah ini motifnya mengapa ia bersedia untuk menghentikan ekskursi-ekskursi saintifiknya. Tapi salah satu alasan lain kemungkinan adalah karena faktor kesehatannya yang terus menurun akibat ia telah begitu lama hidup di kawasan pesisir yang panas dan berawa-rawa. Untuk itu ia mencoba memulihkan kesehatannya di kawasan yang dingin di Lembang.
Eksperimen budidaya kina dilakukan mulanya dengan menanam tanaman muda di hutan yang lebat seperti pada kondisi aslinya di Amerika Selatan. Tapi eksperimen ini gagal. Kina adalah tanaman yang mencari cahaya. Banyak orang-orang yang iri pada Junghuhn sangat bergembira karena kegagalan ini.
Junghuhn kemudian membuat persemaian yang luas dan membangun rumah tinggalnya di Lembang. Persemaian ini kini berada di sekitar tugu makamnya. Sudah begitu banyak publikasi mengenai budidaya kina dan juga begitu banyak pengunjung dari seluruh dunia yang berkunjung ke lokasi persemaian Junghuhn.
Kepada siapa pun yang menjadi tamunya, ia biasanya tetap mengalokasikan beberapa jam waktunya untuk bekerja, tapi lalu kemudian mendedikasikan waktunya sepenuhnya bagi tamunya.
Pertemuan dengan ilmuwan-lmuwan hebat dari seluruh dunia ini memakan waktu-waktu pentingnya untuk bekerja. Untuk itu, satu jam sebelum makan malam, ia biasanya hadir di ruang makan. Kemudian istrinya yang menjadi tuan rumah biasanya telah menginformasikan kepada tamunya mengenai kebiasaan harian Junghuhn.
Salah satu dari tamu terakhir Junghuhn adalah Dr. Anderson, direktur Kebun Raya di Kalkuta. Ia dipercayakan untuk membawa bibit dan benih ke Darjeeling (India). Junghuhn menemaninya ke Pengalengan dan kembali ke Lembang karena Junghuhn terkena penyakit disentri serius. Junghuhn tak pernah pulih dan si Humboldt dari Jawa ini menemui akhir hayatnya. Ia si peneliti masyhur, si peramal, karena ia pernah menulis: „rusaknya hubungan antara orang Belanda dan orang Hindia akan berakibat buruk bagi negara dan populasinya“.
Orang ini tak hanya menyumbangkan begitu banyak hal bagi negara dan masyarakatnya, tapi juga bagi kemanusiaan. Setiap orang yang berkunjung ke makamnya mengheningkan cipta dan memberikan penghormatan kepada orang ini karena sumbangsihnya yang luar biasa pada pengetahuan.
Penghormatan pada ia yang telah berpulang, membuatnya tak pernah mati;
mereka tetap hidup, karena semangat dan karyanya terjaga untuk anak dan cucu.
Setelah kematiannya, dunia memberikan penghormatan pada Junghuhn dengan berbagai cara. Julukannya adalah Si Humboldt dari Jawa. Pada perayaan 100 tahun Junghuhn, suatu tulisan memorial disusun, di mana begitu banyak ilmuwan berkontribusi menjadi penulis. Sangat banyak tanaman dinamai atas namanya, juga satu jalan di kota kelahirannya.
Tak jauh dari tugu makam Junghuhn, terdapat satu makam lain yang menyimpan abu dari orang ternama lainnya
Dr. Johan Eliza de Vrij
Lahir di Roterdam 31 Januari 1813
Meninggal di Den Haag 31 Juli 1898
Ia juga adalah seorang ahli kina, dan mulanya ditugaskan untuk membudidaya kina sebagai seorang ahli kimia. Hasil karya De Vrij adalah ekstrak cair kina yang pernah menjadi obat yang sangat populer untuk waktu yang lama.
Sayangnya kerja sama Junghuhn dengan Vrij berjalan tak begitu mulus. Ketika pada akhir abad-19, saat guci berisi abu Dr. de Vrij datang dengan instruksi untuk disebarkan di sekitar persemaian kina, pengelola persemaian berpikir untuk menempatkan guci itu di dekat tugu makam Junghuhn.
Kawan Junghuhn berpikir untuk memisahkan makam Junghuhn dengan abu Dr. de Vrij. Oleh karena itu kita akan lihat suatu kuburan sederhana dengan tulisan:
Kematian tak mampu menyatukan perseteruan, sehingga mereka dikuburkan terpisah dalam pemandangan yang damai dan begitu indah. Kedua orang telah berkarya hebat dan berjuang dalam medan tempurnya.
Junghuhn suatu ketika pernah berkata: „Satu negeri di mana orang menjadi begitu familiar. Di dalamnya orang menghabiskan waktu yang begitu menyenangkan. Satu negeri di mana orang bisa berkata inilah tanah airku“.
Dan di tanah inilah ia menemui kedamaian setelah semua pekerjaannya selesai.
*Diterjemahkan dari Dr. F. Junghuhn, his life and his work, karya W.H. Hoogland (1950) oleh Malik Ar Rahiem